[tulisan pada Harian KOMPAS, 6 Maret 1996]
Kamis, 02 Juni 2011
Danau Toba dan Pesta Itu
[pernah dimuat di Harian ANALISA Medan, 10/10/10, hal. 13]
Danauku indah dari kejauhan,
hati gundah kala berdekatan.
Pesta Danau Toba (PDT) akan digelar 20-24 Oktober 2010 yang akan datang. Dengan mengambil tema ‘Kebangkitan kembali Danau Toba’, kegiatan tahunan ini diharapkan dapat menjadi momentum untuk: (1) me-review campur tangan manusia di danau ini selama ini, (2) melihat fakta-fakta kritis danau kini, dan (3) merancang ke depan, danau ini mau dibawa kemana?
Mengapa Danau Toba sangat penting? Pertama, Danau Toba dan daerah tangkapan air (catchment area)-nya merupakan bentang alam yang sangat luas. Daerah tangkapan air danau meliputi area 369.854 ha yang terdiri dari 190 314 ha daratan di Pulau Sumatera, 69.280 ha daratan Pulau Samosir dan 110.260 ha luas permukaan danau. Kedua, kawasan Danau Toba merupakan hulu dari beberapa wilayah kabupaten/kota di Sumatera Utara. Kondisi ekosistem kawasan ini berpengaruh langsung dan tidak langsung bagi daerah hilirnya. Ketiga, tidak ada tujuan wisata di Sumut yang mampu menggantikan keindahan danau ini. Keempat, ekosistem kawasan danau memiliki nilai ekologi, sosial budaya dan ekonomi bagi kehidupan manusia.
Sebagai warga Sumut, kita patut menaruh harapan pada rencana kegiatan pra PDT dan pada saat 5 hari pelaksanaan PDT sendiri. Dari pemberitaan media diperoleh informasi beberapa kegiatan pra PDT: pembersihan danau (lomba desa green and clean), pembenahan infrastruktur (jalan dan feri penghubung), raker danau, pameran foto, reli wisata, penanaman pohon. Pada hari-hari H, dilaksanakan beberapa event: workshop pengelolaan danau, olah raga, parade kapal hias, jetski dan festival gondang. Dari berbagai kegiatan ini, memang diprediksi tetap cukup meriah dan bernuansa ‘pesta’.
Danau Toba telah memiliki perjalanan panjang sebagai daerah tujuan wisata (DTW). Beberapa tahun silam, danau Toba merupakan DTW kedua setelah Bali. Sejak legenda terbentuknya danau ini sampai kini menjadi DTW yang sangat memprihatinkan, berbagai intervensi telah dilakukan oleh manusia pada danau terbesar di Asia Tenggara ini.
Berbagai aktivitas yang tidak taat lingkungan menyebabkan danau kita tengah merana. Indikasi kasat mata langsung bisa disebut satu per satu. Tata ruang yang tidak konsisten, keramba jaring apung (KJA), berjuta eceng gondok, ekses negatif kegiatan wisata, bangunan di sempadan dan bahkan menjorok ke danau, penggundulan hutan, debit air sungai berkurang bahkan kering, zat limbah dalam badan air, hilangnya spesies endemik, penurunan muka danau, praktek pertanian yang tidak selaras alam, dan banyak lagi.
Berbagai indikasi itu secara langsung mematisurikan geliat wisata. Sekedar contoh dapat disebutkan. KJA di perairan danau di Haranggaol, benar-benar telah melumpuhkan sektor wisata di sekitarnya. Kekokohan eceng gondok di perairan Tongging, misalnya, telah menutupi pantai sekitarnya. Berdasarkan data yang ada, luas permukaan air yang tertutup eceng gondok mencapai sekitar 380 hektar. Tight blue tent di ujung Ajibata, sungguh sangat membuat miris. Muda-mudi dengan berbonceng sepeda motor kerap mengunjunginya. Adakah decision maker sektor wisata tidak tahu hal ini?
Puluhan bahkan ratusan program pelestarian telah pula didaratkan di danau dan kawasan sekitarnya. Program mana untuk mengatasi kemeranaan danau. Program yang diprakarsai pemerintah pusat, pemda, LSM, perguruan tinggi, dan stakeholder lainnya. Bahkan oleh UNESCO telah berkiprah sejak tahun 1995. Bukan untuk menyalahkan siapapun, namun program-program itu kelihatannya masih manyisakan banyak masalah. Perlu di-review dan direformulasi. Kegiatan workshop dan raker danau yang hendak digelar, dalam hal ini, menjadi sangat strategis sebabai momentum awal untuk merancang masa depan danau secara komprehensif.
Sebagai suatu wilayah yang memiliki kesamaan karakterisitik, ketujuh kabupaten yang memiliki Danau Toba (Simalungun, Taput, Humbahas, Tobasa, Samosir, Karo, dan Dairi) hendaknya melakukan kerjasama antardaerah dalam pengelolaan danau. Sebab danau dan kawasannya tidak baik dikavling dalam pengelolaannya. Menurut ilmu wilayah, Danau Toba dan kawasan tangkapan airnya merupakan wilayah yang harus direncanakan secara khusus.
Pada Konferensi Nasional Danau Indonesia (KNDI) di Bali tahun 2009, dimana mengemuka tujuh kesepakatan pengelolaan danau berkelanjutan, kiranya dapat menjadi agenda dalam raker dan workshop yang akan digelar itu. Ketujuh kesepakatan meliputi pengelolaan ekosistem danau; pemanfaatan sumber air danau; pengembangan sistem monitoring, evaluasi dan informasi danau; penyiapan langkah adaptasi dan mitigasi; peningkatan partisipasi masyarakat; dan pendanaan berkelanjutan.
Kesepakatan tersebut secara implisit menyatakan bahwa penggunaan danau diprioritaskan untuk tujuan wisata (pelestarian lingkungan danau). Sementara kegiatan ekonomi (seperti KJA, industri, peternakan) sedapat mungkin dihindari. Para ahli lingkungan sangat mengerti apa dampak buruk KJA bagi keberlanjutan danau. Syarat mutlak untuk implementasi kesepakatan itu adalah kerjasama antardaerah dan kerjasama antarinstansi pemerintah.
Kita menyambut baik berbagai rencana kegiatan pra dan pada PDT itu. Lomba desa hijau dan bersih itu memang harus dibuat berkelanjutan, dengan insentif yang memadai. Insentif yang diberikan bisa berbentuk, misalnya, prioritas peningkatan infrastuktur jalan dan/atau fasilitas umum/sosial ke desa yang bersangkutan. Atau program pemerintah untuk mengembangkan potensi lokalita desa. Ini hanya sekedar alternatif, bisa dalam bentuk insentif lain.
Bisa juga dilaksanakan perlombaan penanaman pohon di kawasan danau dalam cakupan yang lebih luas. Penanaman pohon seperti ini dapat difasilitasi oleh pemerintah kabupaten/ kecamatan/desa dengan mengundang partisipasi masyarakat. Kriteria keberhasilan dilakukan secara multitahun. Artinya, pohon yang ditanam pada tahun ini, dinilai keberhasilannya pada tahun mendatang dan tahun-tahun selanjutnya.
Hal yang tidak kalah penting adalah penataan ruang perairan danau dan kawasan tangkapan airnya. Berdasarkan data yang ada, sekitar 43% daratan tangkapan air Danau Toba penggunanannya tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Meskipun di awal dikatakan sedapat mungkin menghindari usaha KJA dan kegiatan nonwisata lainnya, jika memang memungkinkan harus ditata ruang untuk itu. Apakah site darmaga Tigaras, misalnya, bisa diberikan ijin usaha KJA?
Yang sering terlupakan, pengembangan infrastruktur sosial budaya malah lebih menentukan keberhasilan pelestarian danau. Sikap, perilaku, motivasi, keterampilan, pendidikan, dan nilai-nilai moral penduduk dan pendatang menjadi penting. Perilaku hidup bersih dengan, misalnya, tidak membuang sampah sembarangan, tampaknya sangat perlu ditingkatkan. Perilaku berwisata yang bersih dan sehat menjadi kawalan pihak terkait disamping dituntut kesadaran para wisatawan.
Sebagai contoh saja, saat berkunjung pada awal tahun 2010 ke Parapat, penulis sempat ‘berperan kecil’ membersihkan sampah di sekitar pantai Danau Toba. Bagaimana mungkin wisatawan berniat mandi atau sekedar menikmati pantai bila perairan danau dipenuhi sampah yang mengambang. Celakanya, saat itu, sisa ‘bagian dalam’ ternak yang dipotong ditemukan mengambang di antara sampah. Untung saja, dalam kondisi ramai seperti itu, penulis masih sempat menyingkirkan ‘daging busuk’ itu ke tempat sampah sebelum khalayak melihatnya. Ah, betapa kita tanpa sadar tengah mengotori rumah kita sendiri.
Apa yang bakal terjadi? Tak seorangpun di antara kita yang menginginkan bencana, bahkan membayangkannya pun tidak. Tapi jika fakta-fakta kritis yang telah disebutkan semakin parah, bencana besar bakal terjadi. Hanya soal waktu saja. Hal yang pasti, muka danau terus menurun. Berbagai media dapat disimak tentang ini. Tahun 1984, muka danau masih 905,25 m di atas permukaan laut (dpl), menjadi 904,75 m dpl di akhir tahun 1985. Merujuk situs Otorita Asahan, tinggi permukaan Danau Toba pada bulan Agustus 2010 adalah 903,99 dpl.
Fakta lain, hutan di kawasan danau semakin gundul. Jika kondisi tetap terjadi, bukan hanya dataran tinggi Toba saja yang terkena dampak. Bukan mustahil banjir bandang bakal melanda wilayah-wilayah dataran rendah sekitar kawasan danau.
Semua pihak pasti sepakat, kualitas dan daya dukung ekosistem kawasan Danau Toba telah dan sedang mengalami penurunan. Jika terus mengalami pembiaran, alam akan murka dan manusia adalah korban pertamanya. Namun harapan dan komitmen tetap ada. Momentum PDT 2010 sangat strategis merajut harapan dan menegaskan komitmen itu. Kita menaruh harapan besar akan momentum ini dan tindak lanjutnya. Jika tidak, sesungguhnyalah kita akan berpesta di danau yang sedang merana. Kita akan menggelar hiruk-pikuk keramaian di danau yang merasa sangat kesepian. Selamat menjelang PDT 2010!
Kopi dan Pengembangan Wilayah
Saat ini kopi tampaknya merupakan komoditas yang paling penting bagi petani di beberapa wilayah di Sumatera Utara.
Beberapa faktor yang menjadi pendukung adalah aspek budidaya yang relatif dikuasai petani, perawatan tanaman yang tidak terlalu rumit, dapat menghasilkan cash money setiap minggu, dan harga yang relatif stabil bahkan mengalami tren naik akhir-akhir ini.
Kondisi ini menjadi pertanda baik bagi petani dan memang mulai menjadi pemicu peningkatan keseriusan petani mengelola kebun dan perluasan areal. Di tingkat petani di wilayah Simalungun misalnya, harga kopi mengalami peningkatan dari sekitar Rp 13.000-15.000 per tumba pada bulan Oktober menjadi sekitar Rp 17.000 sampai 19.000 per tumba pada Desember 2010. Suatu peningkatan yang cukup mengesankan.
Bila ditilik ke harga internasional, juga mengalami tren meningkat. Hal ini didasarkan pada data harga di pasar New York untuk jenis Other Mild Arabicas (OMA) dari situs ICO. Kopi arabika asal Indonesia masuk ke kelompok OMA. Sepanjang tahun 2010, terjadi tren peningkatan harga bulanan sekitar 4 persen/bulan. Suatu angka yang juga cukup menjanjikan.
Hal yang juga sangat menggembirakan, berdasarkan data ICO, pada tahun 2009, Indonesia telah menempati posisi tiga besar produsen kopi (setelah Brazil dan Vietnam) dengan produksi sekitar 683 ribu Kg.
Sejak lama, reputasi kopi Indonesia telah dikenal di manca negara, khususnya kopi arabika. Sebut saja beberapa merek dagang kopi dari berbagai wilayah: Lintong Coffee dan Mandheling Coffee (Sumatera Utara), Gayo Coffee (NAD), Toraja Coffee (Sulawesi Selatan), dan banyak lagi.
Kopi Sumatera Utara
Berbagai kajian dan pengakuan para pelaku industri dan konsumen, kopi asal Sumatera Utara merupakan salah satu kopi terbaik di dunia. Berbicara mengenai kopi Sumatera Utara, kita paling tidak harus menyebut empat wilayah: Simalungun, Tapanuli Utara, Dairi, dan Humbang Hasundutan. Kopi dari wilayah-wilayah ini menjadi primadona para eksportir di Medan dan konsumen di manca negara.
Apa yang membuat kopi kita unggul dari yang lain? Pertama, varietas Sigarar Utang yang ditanam petani kita menghasilkan kopi berkualitas terbaik. Kedua, iklim dan jenis tanah di wilayah-wilayah tersebut sangat mendukung produksi kopi bercitarasa mantap. Ketiga, cara pengolahan basah (wet hulling) yang dilakoni petani kita sangat unik yang menciptakan kopi terbaik. Keempat, praktek pertanian yang dilakukan umumnya sesuai dengan tuntutan konsumen dengan minim atau tanpa pupuk dan pestisida sintesis.
Namun demikian, jika ingin menguak beberapa kendala dalam perkopian kita dapatlah disebut beberapa yang penting saja: sebagian praktek budidaya yang masih seadanya, serangan penggerek buah kopi (coffee berry borer, CBB), produktivitas yang masih relatif rendah, persoalan sekitar harga yang adil di tingkat petani, dan lemahnya institusi perkopian di tingkat petani.
Praktek pertanian yang masih seadanya ditandai dengan sebagian (besar) petani yang belum serius mengelola kebunnya. Banyak petani bahkan tidak memupuk kopi sepanjang tahun. Seorang petani kopi yang relatif maju di Simalungun mengatakan bahwa untuk produksi yang optimal, kopi memerlukan empat jenis pupuk. Pupuk untuk kebutuhan akar, batang, daun dan buah. Dan keempatnya harus seimbang. Selain itu, bahan tanaman (bibit) umumnya diperoleh dari kebun sekitarnya dan sebagian besar kebun kopi kita di Sumatera Utara tidak memiliki tanaman pelindung.
Yang sangat merisaukan adalah serangan CBB. Penggerek ini melubangi ujung kopi hijau dewasa dan merusak satu atau kedua biji kopi di dalamnya. Berbagai laporan mengungkap intensitas serangan yang bervariasi di Sumatera Utara. Bahkan ada yang menyatakan serangan sudah mencapai 75% di beberapa wilayah. Teknologi untuk ini masih relatif terbatas. Sedikit petani telah menggunakan perangkap (Brocap) dan/atau jamur Beauvaria bassiana. Namun ketersediaannya masih sangat minim di tingkat petani. Seorang pakar kopi nasional mengatakan, masalah ini tidak hanya terdapat di Indonesia, di negara produsen kopi penting lainnya pun masih belum dapat diatasi.
Pengembangan Wilayah
Membahas pengembangan wilayah berbasis pertanian tentunya kita tidak terlepas dari tingkat produktivitas. Sekaitan dengan komoditas kopi arabika, produktivitas ini diyakini mampu secara signifikan mempengaruhi perekonomian masyarakat di suatu wilayah.
Seperangkat teknologi budidaya kopi dan faktor pendukung secara umum telah tersedia dan agaknya tidak terlalu rumit. Asumsi kita, peningkatan harga dapat menjadi insentif bagi petani untuk mulai mencoba menerapkan berbagai teknologi itu secara bertahap. Namun asumsi kita tidaklah sepenuhnya benar.
Sebut saja misalnya, mengapa petani masih enggan menanam pohon pelindung dan menggunakan pupuk organik secara teratur. Tambahan lagi, mengapa petani tidak mau membuat catatan aktivitas usahatani kopi, padahal berbagai studi di manca negara terbukti bahwa catatan itu mampu meningkatkan produktivitas.
Apakah ini disebabkan kendala ekonomi atau kendala sosial-budaya? Dari aspek ekonomi mestinya peningkatan pendapatan akan memicu re-investasi ke kebun kopi. Dari sini kiranya muncul hipotesis bahwa kondisi sosial-budaya patut diduga menjadi kendala upaya-upaya penigkatan produktivitas ‘emas hitam’ ini.
Mari kita bicara seputar harga yang adil. Kriteria adil di sini memang belum ada patokan. Tapi sebagai gambaran kita lihat data-data dari berbagai sumber, yang juga sangat terbatas. Suatu studi di Toraja menunjukan data sebagai berikut. Harga di tingkat petani sekitar 75 persen dari f.o.b. pelabuhan pengirim dan hanya 10 persen dari harga di tingkat konsumen di pasar AS. Di Flores, harga yang diterima petani sekitar 80 persen dari f.o.b. pelabuhan pengirim.
Gambaran harga kopi arabika Simalungun sebagai berikut. Jika hari ini harga kopi gabah asalan di tingkat petani adalah Rp 20.000 per tumba (proxy sekitar Rp 16.000 per Kg). Berbagai laporan mengatakan bahwa harga ini sekitar 70 persen dari harga f.o.b. pelabuhan pengirim. Harga rata-rata bulanan di pasar New York sepanjang tahun 2010 (jenis Other Mild Arabicas) adalah sekitar Rp 43.000 per Kg. Dengan demikian, harga di tingkat petani mencapai 37 persen dari harga pasar kopi New York.
Dengan gambaran umum tersebut, perihal harga yang adil di tingkat petani memang perlu memperoleh pembahasan dan perhatian serius dari berbagai stakeholder.
Kendala-kendala yang dikemukakan di atas tentunya tidak terlepas dari kondisi masih lemahnya institusi di tingkat petani. Kelembagaan petani serupa kelompok tani, gabungan kelompok tani, koperasi tani, atau apapun namanya, masih jauh dari harapan.
Jika kendala-kendala tersebut secara serius dicarikan solusinya secara bertahap, diyakini kopi akan menjadi salah satu komoditas penting dalam perekonomian wilayah dan berdampak langsung bagi kesejahteraan petani. Sebab, hampir seluruhnya (96 persen) areal kopi secara nasional dikelola oleh rakyat. Artinya, pengembangan kopi akan langsung menyentuh sendi-sendi kehidupan petani di berbagai sentra produksi.
Berdasarkan suatu kajian berbasis PRA di wilayah Simalungun diperoleh informasi bahwa meskipun terdapat sedikit penurunan produksi kopi arabika di berbagai wilayah; namun secara umum pendapatan petani menunjukkan tren meningkat. Hal ini ditopang oleh peningkatan harga yang cukup baik di tingkat petani. Bukan hanya sekedar harapan, para petani memprediksi peningkatan harga masih akan terus terjadi ke depan.
Selain itu, aktivitas pada usahatani kopi arabika menyerap relatif banyak tenaga kerja setempat. Tenaga kerja ini terutama dialokasikan untuk kegiatan panen. Dengan dukungan iklim yang sesuai maka kopi arabika kita dapat dipanen sepanjang tahun, meskipun dengan berbagai variasi fluktuasi produksi.
Artinya, pengangguran musiman (seasonal unemployment) yang kerap terjadi di sektor tanaman semusim, semakin berkurang dengan komoditas kopi arabika. Dengan dua indikator saja (pendapatan dan penyerapan tenaga kerja), dapat dipastikan bahwa pengembangan kopi arabika berkontribusi positif bagi perekonomian wilayah.
Tantangan kita kini adalah bagaimana para pemangku kepentingan bersinergi mengembangkan komoditas andalan ini. Kita ingin bertanya, demi petani kopi. Selama ini sejauh mana peran Disbun, Disperindag, BUMD terkait, dan pemangku kepentingan lainnya? Hendaknya dijawab dengan aksi nyata. ***
Berharap (Banyak) pada Revitalisasi Kopi
[pernah dimuat di Harian ANALISA Medan, 14/12/10, hal. 25]
Akhir November lalu, Menteri Pertanian menyatakan bahwa kopi merupakan prioritas utama dalam program revitalisasi perkebunan tahun 2011. Revitalisasi mengandung makna bahwa selama ini kopi memang sudah vital alias sangat penting dan sangat diperlukan. Cuma sudah lama terlupakan, jadinya perlu di-vital-kan kembali. Revitalisasi!
Ini merupakan kabar gembira bagi petani kopi sebab sejak Permentan 33/2006 yang hanya memasukkan kelapa sawit, karet dan kakao dalam program revitalisasi perkebunan; kopi seakan terabaikan. Meskipun sedikit terlambat, kabar gembira ini patut disambut, didukung dan diberi masukan.
Mengapa kopi begitu penting bagi perekonomian bangsa dan petani? Kopi merupakan komoditas terpenting kedua, setelah minyak bumi, dalam perdagangan global. Hanya tiga wilayah utama penghasil kopi di dunia: Amerika Latin memasok 62 persen, Asia 25 persen dan sisanya dari Afrika. Indonesia merupakan negara produsen kopi utama keempat di dunia setelah Brazil, Vietnam dan Kolombia. Keempat negara tersebut menghasilkan 60 persen produksi kopi dunia.
Berbeda dengan kelapa sawit yang sebagian besar dikelola oleh perkebunan besar negara dan swasta, kopi hampir seluruhnya (96 persen) dikelola oleh rakyat. Artinya, pengembangan kopi akan langsung menyentuh sendi-sendi kehidupan petani di berbagai sentra produksi di Indonesia.
Revitalisasi kopi menjadi sangat strategis. Produktivitas kopi kita masih sekitar 700 kg/ha/tahun, masih 60 persen dari potensi produksi. Lebih rendah dibanding negara pesaing utama: Brazil, Vietnam, Kolombia. Sebabnya? Program-program pengembangan kopi kita masih kalah dengan negara-negara itu, bahkan dengan negara ‘kecil’ Vietnam itu.
Terdapat dua jenis kopi yang utama dikenal di pasar kopi global. Kopi arabika dan robusta. Bagi penikmat kopi, arabika lebih disukai daripada robusta. Dengan begitu, harga kopi arabika pun lebih tinggi dibanding kopi robusta. Sayangnya, dari empat negara utama produsen kopi itu, Indonesia dan Vietnam dominan menghasilkan kopi robusta. Sebagai gambaran, produksi kopi arabika Brazil mencapai 76 persen, Kolombia bahkan 98 persen, sementara Indonesia hanya 18 persen.
Awalnya, petani kopi Vietnam hanya menghasilkan 5 persen arabika dari total produksinya. Namun kini mereka telah melakukan program terarah dalam konversi kopi robusta ke arabika. Dukungan pemerintah Vietnam sangat nyata bagi peningkatan areal dan produktivitas kopi arabika ini. Keberhasilan Vietnam dalam pengembangan kopi didukung peran pemerintah dalam membangun irigasi, jalan-jalan di sentra produksi, penelitian, penyuluhan dan kredit, serta hak pengelolaan lahan tak terbatas hingga 50 tahun. Sesungguhnya, Indonesia perlu belajar banyak ke Vietnam.
Kopi Sumatera Utara
Arah pengembangan kopi sebaiknya fokus pada kopi arabika. Kopi arabika asal Indonesia sudah memiliki reputasi baik di pasar internasional sebagai specialty coffee. Sebut saja, misalnya, Gayo Coffee, Mandheling Coffee, Lintong Coffee, Toraja Coffee, Java Coffee, Kintamani Coffee, Kalosi Coffee, Flores Coffee, Papua Coffee. Kopi ini sangat digandrungi oleh para konsumen kopi di manca negara (AS, Jerman, Inggris, Kanada, Singapura dan Jepang).
Sayangnya, hingga kini, porsi harga yang diterima petani masih sangat rendah. Dibandingkan dengan harga f.o.b di pelabuhan ekspor, harga yang diterima petani berkisar 70 persen. Dengan harga di tingkat konsumen di gerai-gerai kopi manca negara, harga yang diterima petani hanya berkisar 10 persen.
Kopi Sumatera Utara terkenal ke manca negara karena citarasa yang sangat baik. Setidaknya ada empat keunggulan kopi Sumut yang menyebabkan ia bercitarasa terbaik: iklim (kombinasi jenis tanah, curah hujan dan temperatur), varietas (Sigarar Utang), manajemen usahatani, dan pengolahan basah yang unik. Kopi tersebut dihasilkan di Simalungun, Tapanuli Utara, Dairi, Humbang Hasundutan dan kabupaten lainnya. Karena begitu strategisnya, tidak kurang dari IFC/World Bank dan AMARTA/USAID telah turun langsung membina petani kopi di Sumatera Utara.
Sumberdaya alam Sumatera Utara sangat cocok untuk menghasilkan kopi arabika spesialti. Tantangannya adalah bagaimana para pemangku kepentingan mengelola sumberdaya itu. Tujuannya peningkatan produktivitas, kualitas, dan berkelanjutan. Terpulang pada pembuat kebijakan (pemerintah), pelaku usahatani (petani), dan pelaku pasar (pedagang dan industri). Artinya, alam sudah memberi kelimpahan.
Bagaimana manusia merespon dengan baik. Apakah kita juga merelakan potensi ini hanya dinikmati orang luar. Petani hanya menerima harga yang relatif rendah? Marilah kita mengembangkan secara serius ‘emas hitam’ ini. Revitalisasi itu sangat dinanti petani kopi Sumatera Utara sebab di sebagian sentra produksi tanaman kopi sudah berumur tua dan tidak produktif lagi.
Revitalisasi Perkebunan
Revitalisasi perkebunan telah dimulai sejak tahun 2006 melalui Permentan Nomor 33 tanggal 26 Juli 2006 dengan fokus pada tiga komoditas: kelapa sawit, karet, dan kakao. Setelah empat tahun berjalan, target penyaluran kredit masih jauh dari harapan. Setelah 4 tahun, secara nasional diprediksi hanya berkisar 25 persen, sementara di Sumatera Utara, terealisasi hanya 16 persen.
Rendahnya pengucuran kredit disebabkan oleh masalah legalitas lahan petani. Perbankan meminta agunan yang umumnya berupa sertifikat tanah. Sementara petani masih mengeluhlan pelayanan dan mahalnya sertifikat tanah.
Persoalan Sumatera Utara lain lagi. Mungkin dialami juga oleh beberapa provinsi lain seperti Riau, Kalimantan Tengah dan lainnya. Masalahnya adalah review dan revisi kawasan hutan yang tak kunjung tuntas.
Saat ini, sebagian besar lahan milik petani di Sumut yang telah berpuluh-puluh tahun dikuasai, masuk ke dalam kawasan hutan. Ini merupakan buah pahit dari SK Menhut Nomor 44 tahun 2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi Sumatera Utara; yang menetapkan 3,7 juta hektar lebih.
Bagaimana mungkin petani mengurus sertifikat tanah kalau lahan milik petani, atau bahkan perkampungan, masuk dalam kawasan hutan. Sedangkan jelaspun kadang sulit, apalagi tak jelas. Sampai hari ini, revisi SK ini masih belum terwujud. Dan sampai hari ini, setelah sekian lama, SK 44 ini telah menimbulkan dampak negatif dalam aspek sosial-budaya, ekonomi, dan kelembagaan. Sebagai gambaran saja, lebih dari 40 nagori/desa di Kabupaten Simalungun masuk dalam kawasan hutan.
Revitalisasi Kopi di Sumatera Utara
Sangat tepat kebijakan yang memprioritaskan kopi sebagai komoditas utama dalam revitalisasi perkebunan di tahun depan. Tanpa mengabaikan kopi robusta, revitalisasi ini hendaknya fokus pada petani di sentra produksi kopi arabika berkarakter spesialti. Mau tidak mau, tujuan kita adalah dataran tinggi dengan elevasi di atas 1.000 m di atas permukaan laut. Ada beberapa hal yang perlu dicermati, khususnya di Sumatera Utara.
Pertama, program ini pun pasti dihadang oleh permasalahan lahan yang belum bersertifikat. Bagaimana mungkin bank mau menyalurkan kredit jika tak ada agunan? Adakah terobosan untuk masalah ini?
Kedua, katakanlah kredit dapat dikucurkan, maka peran pendampingan sangatlah strategis. Untuk menghasilkan kopi bermutu baik (seperti kopi organik), penyuluhan dan pelatihan teknik budidaya dan pascapanen menjadi sangat penting. Sumberdaya alam sangat mendukung, modal sudah punya, dan teknologi tersedia. Selanjutnya, bagaimana aktornya.
Ketiga, program dapat diimplementasi dengan mengakomodir karakter sosial budaya masyarakat setempat. Misalnya, untuk wilayah tertentu barangkali peran wanita tani akan lebih diutamakan. Agresifitas etnis tertentu untuk maju perlu menjadi pertimbangan. Masyarakat petani Sumatera Utara umumnya tidak mau kalah dari petani lainnya. Hanya, mungkin sedikit saja yang berjiwa pioneer (pelopor), umumnya masih berjiwa follower (pengikut). Artinya, ‘lihat dulu baru percaya’.
Keempat, disamping komponen utama revitalisasi perkebunan (perluasan, peremajaan, rehabilitasi), untuk menghasilkan kopi berkualitas tidak kalah penting untuk komponen penunjang (alat pengolah, infrastruktur, sarana dan prasarana). Komponen penunjang yang dimaksud di sini khusus untuk level petani. Antara lain: mesin-mesin pengolah, lantai jemur, ketersediaan air, dan lainnya.
Kelima, sasaran evaluasi sebaiknya mulai ke arah dampak program. Tidak lagi sekedar jumlah kredit, luar areal; tetapi pada kualitas hidup patani. Sejatinya, jumlah kredit yang terkucur, luas yang tanaman diremajakan, banyaknya pelatihan dan kunjungan penyuluh, jumlah mesin pengolah, dan sejenisnya bukanlah tujuan akhir.
Itu semua adalah alat untuk pengembangan wilayah. Tujuan akhirnya adalah peningkatan kualitas hidup petani kopi. Janganlah kita terjebak pada fenomena muddling through: lebih mementingkan alat ketimbang tujuan. Jadi ini bukan pekerjaan biasa. Ini adalah pekerjaan luar biasa dan multidisiplin yang memerlukan komitmen dan kerjasama.
Keenam, berkaitan dengan pekerjaan yang multidisplin itu, Tim Pembina Pengembangan Perkebunan Kabupaten (TP3K) yang dibentuk kepala daerah sebaiknya diisi multipihak yang diperluas agar diharapkan benar-benar mampu mengkoordinasikan program ini di tingkat implementasi.
Kita memang menaruh (banyak) harapan pada program revitalisasi kopi di tahun depan. Semoga saja, dengan pengalaman pada tiga komoditas sebelumnya; komoditas kopi Sumatera Utara menjadi lebih harum di manca negara. Lebih dari itu, keharuman itu secara signifikan dinikmati oleh petani yang menanamnya dalam bentuk peningkatan produktivitas dan kualitas serta keberlanjutan produksi. ***
Core Business Agromadear dalam Agribisnis
[pernah dimuat pada Mingguan Siantar Weekly, edisi 4 thn I, 7-13 Nov. 2008 ]
Dibentuknya PD Agromadear oleh Pemkab Simalungun sekitar setahun yang lalu merupakan sesuatu yang strategis bagi pengembangan pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani di Kabupaten Simalungun. Latar belakang pembentukannya, tentu, didasarkan pada berbagai permasalahan yang dihadapi di bidang pertanian dalam arti luas, atau permasalahan dalam pengembangan agribisnis. Dengan kata lain, Agromadear dibentuk untuk menjawab dan mengatasi masalah-masalah tersebut.
Masalah yang jamak kita dengar dalam pembangunan pertanian di Simalungun anatara lain: fluktuasi harga produk pertanian primer; kualitas, kuantitas, dan kontinuitas pasokan produk pertanian primer; ketersediaan dan harga input pertanian, kapasitas kelembagaan petani, minimnya litbang pertanian sebagai dasar perencanaan, dan banyak lagi. Singkatnya, semua masalah itu adalah menjadi kendala dalam pengembangan agribisnis, yang juga selalu ditemukan pada aras nasional.
Sebelum mengusulkan masalah apa yang sebaiknya menjadi fokus dan prioritas Agromadear, saya ingin me-review konsep agribisnis yang menurut hemat saya dapat menjadi referensi untuk pengembangan agribisnis ke depan.
Agribisnis diartikan sebagai “the sum total of all operations involved in the manufacture and distribution of farm supplies, production activity on the farm, storage, processing and distribution of farm commodities and items for them” (Drillon Jr., 1971).
Dari pengertian itu, agribisnis merupakan suatu sistem yang dibangun oleh empat subsitem: subsitem hulu agribisnisnis (penyedia dan distribusi input dan alat-alat dan mesin pertanian); subsistem usahatani (aktivitas yang mentrabsformasikan input pertanian menjadi produk pertanian primer); subsistem agribisnis hilir (pemasaran produk pertanian primer, pengolahan produk pertanian primer menjadi produk antara dan/atau produk akhir); dan subsistem penunjang agribisnis (kegiatan yang mendukung tiga subsistem lainnya: perbankan, litbang, kebijakan pemerintah, penyuluhan, konsultansi, tarnasportasi, asuransi, dan lain-lain).
Melihat konsep agribisnis tersebut dan merujuk pada masalah yang kerap dihadapi petani, dimana fokus atau inti kiprah Agromadear sebagai badan usaha milik (pemerintah) daerah? Berbicara mengenai fokus, tentu kita langsung teringat tentang kondisi pemasaran berbagai komoditas pertanian primer di Kabupaten Simalungun. Misalnya, harga kubis/kol sangat rendah dan tidakditerima di pasar internasional, jeruk tidak dipanen karena harga jual yang sangat minim, hilangnya sentra jahe karena (salah satunya) masalah pemasaran, dan banyak lagi yang lain.
Menurut hemat saya, fokus pertama Agromadear adalah memfasilitasi pemasaran (menjual) komoditas pertanian primer yang dihasilkan petani. Jadi, bergerak di subsistem hilir agribisnis. Kendalanya, untuk berbagai komoditi, apa yang dihasilkan petani kerap tidak dapat dijual. Jadinya, Agromadear juga harus memfasilitasi petani agar mampu menghasilkan produk yang diminta pasar. Intinya, bukan menjual apa yang diproduksi; tetapi memproduksi apa yang bisa dijual (diminta pasar).
Dengan begitu, kiprah Agromadear juga dapat masuk ke subsistem usahatani, tapi dalam konteks sebagai fasilitator. Menurut hemat saya, sebaiknya Agromadear tidak bertindak sebagai “petani” dengan “menanam dan memungut hasil” usahatani.
Agar petani dapat memproduksi apa yang diminta pasar, jaminan ketersediaan input mutlak diperlukan. Selama ini, aspek ketersediaan dan harga input tak kunjung terselesaikan. Apakah Agromadear juga masuk ke susbsitem hulu? Ya, sebagai mediator!
Fokus kedua, bisa bersifat sekuen atau paralel, Agromadear dapat mengambil peran dalam fungsi pengolah. Fungsi ini dapat berupa memfasilitasi pengembangan PKS Mini, pengolah bubuk kopi, lateks, dan sejenisnya. Di sentra-sentra produksi, fungsi pengolahan ini menjadi strategis untuk menahan nilai tambah produk di dalam wilayah Simalungun.
Yang menjadi alternatif adalah: apakah Agromadear membangun sendiri industri pengolah tersebut atau mengundang investor masuk ke Simalungun? Jika yang pertama, bisa “membebani” anggaran Pemkab. Yang ideal sebenarnya adalah yang kedua. Agromadear memfasilitasi penyusunan studi kelayakan suatu industri pengolah untuk ditawarkan kepada investor.
Saya kira, visi pembentukan Agromadear bukanlah bisnis semata, tetapi mencakup pemberdayaan. Dia sangatlah berbeda dengan badan usaha milik swasta. Bagi usaha swasta, tujuannya memperoleh untung sebesar-besarnya. Alatnya adalah petani, pemasaran, dan pengolahan. Bagi BUMD visinya adalah bisnis dan pemberdayaan petani. Tujuannya, membantu petani meningkatkan kesejahteraannya. Alatnya, pemasaran, pengolahan, mediasi, dan fasiltasi.
Petani menunggu kiprah Agromadear. Kopi “sigalar-utang”, jeruk raya, kakao dan karet di Sindarraya dan Nagori Dolog dan banyak lagi potensi Simalungun; menunggu sentuhan Agromadear. Hemat saya, perkuat jajaran untuk memfasilitasi petani memproduksi apa yang diminta pasar. Sebaiknya, tenaga petugas lapangan yang handal perlu ditingkatkan. Selamat bekerja!
Ibukota sudah Pindah, Selanjutnya Apa?
W |
arga Simalungun, khususnya masyarakat Kecamatan Raya dapat merasa lega sejak dipindahkannya ibukota Kabupaten Simalungun ke Kecamatan Raya. Perpindahan itu terlaksana tahun 2008 ini setelah menempuh waktu yang relatif panjang sejak terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 1999 tanggal 28 Juli 1999 tentang Perpindahan Ibukota Kabupaten Simalungun.
Pascaperpindahan tersebut sering kita mendengar kondisi dan keluhan dari berbagai pihak, utamanya para aparatur Pemkab. Mulai dari minimnya kehadiran para abdi negara itu masuk kantor, kondisi jalan yang rusak, masih sangat minimnya aktivitas pendukung (semisal sarana air bersih, sarana transpor ke lokasi kantor, bahkan untuk sekedar tempat untuk makan siang, dan banyak lagi).
Memang, memulai sesuatu yang baru jamaknya tidak serta-merta langsung klop. Tetapi kalau tidak dimulai, kapanpun tidak akan klop. Nah, bolehlah-(kah?) kondisi dan keluhan itu dipermaklumkan. Kalau “boleh”, sampai kapan? Menurut hemat saya, untuk “sementara” ini, bolehlah dipermaklumkan. Tapi secara bertahap, dan sebaiknya tidak berlama-lama, kondisi dan keluhan itu dapat diatasi.
Urusan pasca perpindahan ini bukanlah sesuatu yang gampang. Hal utama yang paling urgen saat ini adalah peningkatan kualitas jalan (Siantar-Raya) dan pengembangan lokasi permukiman PNS. Saat ini, praktis seluruh aparatur Pemkab masih bersifat komuter. Mungkin sekali, disamping faktor kendala yang lain, sifat komuter ini menyebabkan rendahnya kehadiran para PNS masuk kantor.
Selanjutnya bagaimana? Secara teoritis dan empiris, dan kemudian diadopsi dalam PP 70/1999: tujuan utama perpindahan ibukota itu adalah (1) meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan, (2) menumbuhkan pusat-pusat (baru) perekonomian wilayah dengan tujuan pemerataan pembangunan dan keseimbangan pembangunan antarwilayah. Singkatnya, perpindahan ibukota bukanlah “tujuan”, tetapi merupakan “alat” mencapai tujuan. Memang sering terjadi, pun di kalangan kita sendiri, merasa puas hanya dengan memiliki “alat” tadi. Lupa menggunakannya untuk mencapai tujuan. Ahli perencana menyebutnya sebagai fenomena muddling through, lebih mengutamakan alat daripada tujuan.
Sekaitan dengan tujuan perpindahan tersebut, maka hal mendesak yang perlu dilakukan pasca perpindahan tersebut adalah penyusunan beberapa dokumen perencanaan tata ruang. Menurut informasi, saat ini sedang dibahas Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK). RTRWK ini ditindaklajuti dengan penataan ruang yang bersifat detail. Penataan ruang yang bersifat detail ini dapat berupa penataan ruang kawasan tingkat kecamatan dan penataan ruang kawasan beberapa nagori/kelurahan (baca: lokasi ibukota), misalnya kawasan Nagori Sondiraya, Kelurahan Raya, dan Nagori Daligraya).
RTRWK dan perencanaan detailnya menjadi strategis karena dokumen tersebut menjadi pedoman untuk berbagai aktivitas selanjutnya: (1) penyusunan rencana pembangunan jangka panjang dan menengah, (2) pemanfataan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, (3) keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor, (4) penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi, dan (5) penataan ruang kawasan strategis.
Praktisnya, dokumen perencaaan ruang tersebut menjadi pedoman bagi SKPD untuk merancang program/proyek dan kebutuhan investasi berbagai sektor pembangunan. Pada konteks ini, diperlukan keterpaduan. Misalnya, katakanlah ada lokasi perumahan dan rumah bagi para PNS, tetapi kalau tidak didukung sarana pendidikan yang memadai secara bertahap; bisa saja mereka akan tetap jadi komuter.
Orang bisa saja berkata, dengan perpindahan ibukota ke Raya, cepat atau lambat, Kecamatan Raya dan hinterland-nya pasti berkembang. Ungkapan tersebut benar adanya. Namun ada dua persoalan yang bisa disikapi dari ungkapan tersebut. Pertama, soal waktu. Perkembangan suatu pusat ekonomi dapat direncanakan dan dipercepat. Ini menyangkut prioritas. Secara logika, dan pasti kita sepakat, substansi program dan lokasi program dalam APBD akan mengalami perubahan signifikan dengan berpindahnya ibukota dari Pamatang Simalungun ke Kecamatan Raya.
Kedua, soal arah perkembangannya. Penggunaan ruang (baca: lahan) dapat terjadi dengan tiga mekanisme: (1) pengaturan penggunaan lahan oleh pemerintah, (2) mekanisme pasar, dan (3) kombinasi keduanya. Untuk yang pertama: (i) memerlukan pangkalan data dan informasi yang komprehensif dan akurat; (ii) pemanfaatan ruang dapat lebih terkendali; (iii) berpotensi mengakomodir kepentingan masyarakat; dan (iv) membutuhkan biaya yang relatif besar. Untuk yang kedua, (i) biaya formal relatif lebih kecil; (ii) berpotensi mengakibatkan misalokasi ruang (karena tidak mempertimbangkan eksternalitas), sehingga umumnya mekanisme pasar selalu mengalami kegagalan (market failure) mendistribusikan lahan untuk kemaslahatan orang banyak.
Karena itu, kombinasi keduanya merupakan pilihan yang bijak dan menjadi strategi alokasi pemanfaatan lahan. Karena kegagaan pasar tadi, pemerintah mengatur pemanfaatan lahan yang harus dipedomani, namun pada zona-zona tertentu dimungkinkan mekanisme pasar bekerja. Sayangnya, dua persoalan yang kerap muncul di republik ini. Pertama, pengaturan penggunaan lahan tidak sepenuhnya didasarkan pada pangkalan data dan informasi yang komprehensif dan akurat. Disamping itu, diperlukan kapasitas dan integritas tim (konsultan) penyusun dokumen itu. Kedua, praktek seringkali tidak taat aturan. Rencana tata ruang hanya sebagai dokumen. Investasi industri, properti, infrastruktur jalan, dan sejenisnya tidak jarang menggilas lahan pertanian dan bahkan sawah beririgasi teknis. Akhirnya, secara nasional, pemerintah dan berbagai pihak sibuk mempersoalkan dan mencatat luasan areal pertanian yang telah beralih fungsi ke non pertanian. Bukankah penempatan suatu industri di lahan sawah, misalnya, telah melewati serangkaian proses perijinan? Padahal, perencanaan penggunaan tanah tidak menggariskan apa yang ditempatkan, tetapi menempatkan apa yang telah digariskan.
Nah, mumpung ibukota itu belum mekar, mari kita saling urun rembug merencanakannya. Upaya Bappeda sebagai perencana kabupaten yang mengundang peran serta para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pembahasan RTRWK perlu diapresiasi dan perlu ditingkatkan dalam perencanaan ruang detail. Selanjutnya, dalam implementasi pemanfaatan ruang/lahan perlu konsistensi dan pengendalian yang memadai.
Sebagai catatan penutup, perencanaan pemanfaatan lahan dan implementasinya mensyaratkan peran serta masyarakat. Oleh sebab itu, institusi perencana harus seaktif mungkin mengundang partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan proses perencanaan dan implementasinya. Peran masyarakat di sini juga berimplikasi pada “kerelaan” untuk diatur dengan prinsip (minimal) Pareto Improvement: pengalokasian ruang memberi manfaat bagi sebagian, tetapi kondisi sebagian yang lain tidak menjadi lebih buruk. Tujuan kita bersama adalah Pareto Optimal: pengalokasian ruang memberikan kondisi paling optimal bagi kesejahteraan masyarakat lokal. Inilah teorinya. Secara praksis, kita berupaya mencapai Pareto Optimal itu. Dan secara empiris, banyak pihak dan/atau aktivitas yang dapat mencapainya. ***
Langganan:
Postingan (Atom)