Kamis, 02 Juni 2011

Ibukota sudah Pindah, Selanjutnya Apa?



W
arga Simalungun, khususnya masyarakat Kecamatan Raya dapat merasa lega sejak dipindahkannya ibukota Kabupaten Simalungun ke Kecamatan Raya. Perpindahan itu terlaksana tahun 2008 ini setelah menempuh waktu yang relatif panjang sejak terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 1999 tanggal 28 Juli 1999 tentang Perpindahan Ibukota Kabupaten Simalungun.
Pascaperpindahan tersebut sering kita mendengar kondisi dan keluhan dari berbagai pihak, utamanya para aparatur Pemkab.  Mulai dari minimnya kehadiran para abdi negara itu masuk kantor, kondisi jalan yang rusak, masih sangat minimnya aktivitas pendukung (semisal sarana air bersih, sarana transpor ke lokasi kantor, bahkan untuk sekedar tempat untuk makan siang, dan banyak lagi). 
Memang, memulai sesuatu yang baru jamaknya tidak serta-merta langsung klop.  Tetapi kalau tidak dimulai, kapanpun tidak akan klop.  Nah, bolehlah-(kah?) kondisi dan keluhan itu dipermaklumkan. Kalau “boleh”, sampai kapan?  Menurut hemat saya, untuk “sementara” ini, bolehlah dipermaklumkan.  Tapi secara bertahap, dan sebaiknya tidak berlama-lama, kondisi dan keluhan itu dapat diatasi. 
Urusan pasca perpindahan ini bukanlah sesuatu yang gampang.  Hal utama yang paling urgen saat ini adalah peningkatan kualitas jalan (Siantar-Raya) dan pengembangan lokasi permukiman PNS.  Saat ini, praktis seluruh aparatur Pemkab masih bersifat komuter.  Mungkin sekali, disamping faktor kendala yang lain, sifat komuter ini menyebabkan rendahnya kehadiran para PNS masuk kantor.    
Selanjutnya bagaimana? Secara teoritis dan empiris, dan kemudian diadopsi dalam PP 70/1999: tujuan utama perpindahan ibukota itu adalah (1) meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan, (2) menumbuhkan pusat-pusat (baru) perekonomian wilayah dengan tujuan pemerataan pembangunan dan keseimbangan pembangunan antarwilayah.  Singkatnya, perpindahan ibukota bukanlah “tujuan”, tetapi merupakan “alat” mencapai tujuan.  Memang sering terjadi, pun di kalangan kita sendiri, merasa puas hanya dengan memiliki “alat” tadi.  Lupa menggunakannya untuk mencapai tujuan.  Ahli perencana menyebutnya sebagai fenomena muddling through, lebih mengutamakan alat daripada tujuan. 
Sekaitan dengan tujuan perpindahan tersebut, maka hal mendesak yang perlu dilakukan pasca perpindahan tersebut adalah penyusunan beberapa dokumen perencanaan tata ruang.  Menurut informasi, saat ini sedang dibahas Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK). RTRWK ini ditindaklajuti dengan penataan ruang yang bersifat detail.  Penataan ruang yang bersifat detail ini dapat berupa penataan ruang kawasan tingkat kecamatan dan penataan ruang kawasan beberapa nagori/kelurahan (baca: lokasi ibukota), misalnya kawasan Nagori Sondiraya, Kelurahan Raya, dan Nagori Daligraya).    
RTRWK dan perencanaan detailnya menjadi strategis karena dokumen tersebut menjadi pedoman untuk berbagai aktivitas selanjutnya: (1) penyusunan rencana pembangunan jangka panjang dan menengah, (2) pemanfataan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, (3) keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor, (4) penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi, dan (5) penataan ruang kawasan strategis. 
Praktisnya, dokumen perencaaan ruang tersebut menjadi pedoman bagi SKPD untuk merancang program/proyek dan kebutuhan investasi berbagai sektor pembangunan.  Pada konteks ini, diperlukan keterpaduan.  Misalnya, katakanlah ada lokasi perumahan dan rumah bagi para PNS, tetapi kalau tidak didukung sarana pendidikan yang memadai secara bertahap; bisa saja mereka akan tetap jadi komuter. 
    Orang bisa saja berkata, dengan perpindahan ibukota ke Raya, cepat atau lambat, Kecamatan Raya dan hinterland-nya pasti berkembang.  Ungkapan tersebut benar adanya.  Namun ada dua persoalan yang bisa disikapi dari ungkapan tersebut.  Pertama,  soal waktu.  Perkembangan suatu pusat ekonomi dapat direncanakan dan dipercepat.  Ini menyangkut prioritas.  Secara logika, dan pasti kita sepakat, substansi program dan lokasi program dalam APBD akan mengalami perubahan signifikan dengan berpindahnya ibukota dari Pamatang Simalungun ke Kecamatan Raya. 
Kedua, soal arah perkembangannya.  Penggunaan ruang (baca: lahan) dapat terjadi dengan tiga mekanisme: (1) pengaturan penggunaan lahan oleh pemerintah, (2) mekanisme pasar, dan (3) kombinasi keduanya.  Untuk yang pertama:  (i) memerlukan pangkalan data dan informasi yang komprehensif dan akurat; (ii)  pemanfaatan ruang dapat lebih terkendali; (iii) berpotensi mengakomodir kepentingan masyarakat; dan (iv) membutuhkan biaya yang relatif besar. Untuk  yang kedua, (i) biaya formal relatif lebih kecil; (ii) berpotensi mengakibatkan misalokasi ruang (karena tidak mempertimbangkan eksternalitas), sehingga umumnya mekanisme pasar selalu mengalami kegagalan (market failure) mendistribusikan lahan untuk kemaslahatan orang banyak. 
Karena itu, kombinasi keduanya merupakan pilihan yang bijak dan menjadi strategi alokasi pemanfaatan lahan.  Karena kegagaan pasar tadi, pemerintah mengatur pemanfaatan lahan yang harus dipedomani, namun pada zona-zona tertentu dimungkinkan mekanisme pasar bekerja. Sayangnya, dua persoalan yang kerap muncul di republik ini.  Pertama, pengaturan penggunaan lahan tidak sepenuhnya didasarkan pada pangkalan data dan informasi yang komprehensif dan akurat.   Disamping itu, diperlukan kapasitas dan integritas tim (konsultan) penyusun dokumen itu.  Kedua, praktek seringkali tidak taat aturan.  Rencana tata ruang hanya sebagai dokumen.  Investasi industri, properti, infrastruktur jalan, dan sejenisnya tidak jarang menggilas lahan pertanian dan bahkan sawah beririgasi teknis.  Akhirnya, secara nasional, pemerintah dan berbagai pihak sibuk mempersoalkan dan mencatat luasan areal pertanian yang telah beralih fungsi ke non pertanian.  Bukankah penempatan suatu industri di lahan sawah, misalnya, telah melewati serangkaian proses perijinan?  Padahal, perencanaan penggunaan tanah tidak menggariskan apa yang ditempatkan, tetapi menempatkan apa yang telah digariskan.
Nah, mumpung ibukota itu belum mekar, mari kita saling urun rembug merencanakannya.  Upaya Bappeda sebagai perencana kabupaten yang mengundang peran serta para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pembahasan RTRWK perlu diapresiasi dan perlu ditingkatkan dalam perencanaan ruang detail.  Selanjutnya, dalam implementasi pemanfaatan ruang/lahan perlu konsistensi dan pengendalian yang memadai.
Sebagai catatan penutup, perencanaan pemanfaatan lahan dan implementasinya mensyaratkan peran serta masyarakat.  Oleh sebab itu, institusi perencana harus seaktif mungkin mengundang partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan proses perencanaan dan implementasinya.  Peran masyarakat di sini juga berimplikasi pada “kerelaan” untuk diatur dengan prinsip (minimal) Pareto Improvement: pengalokasian ruang memberi manfaat bagi sebagian, tetapi kondisi sebagian yang lain tidak menjadi lebih buruk.  Tujuan kita bersama adalah Pareto Optimal: pengalokasian ruang memberikan kondisi paling optimal bagi kesejahteraan masyarakat lokal.  Inilah teorinya.  Secara praksis, kita berupaya mencapai Pareto Optimal itu. Dan secara empiris, banyak pihak dan/atau aktivitas yang dapat mencapainya.  ***

Tidak ada komentar: