[pernah dimuat di Harian ANALISA Medan, 10/10/10, hal. 13]
Danauku indah dari kejauhan,
hati gundah kala berdekatan.
Pesta Danau Toba (PDT) akan digelar 20-24 Oktober 2010 yang akan datang. Dengan mengambil tema ‘Kebangkitan kembali Danau Toba’, kegiatan tahunan ini diharapkan dapat menjadi momentum untuk: (1) me-review campur tangan manusia di danau ini selama ini, (2) melihat fakta-fakta kritis danau kini, dan (3) merancang ke depan, danau ini mau dibawa kemana?
Mengapa Danau Toba sangat penting? Pertama, Danau Toba dan daerah tangkapan air (catchment area)-nya merupakan bentang alam yang sangat luas. Daerah tangkapan air danau meliputi area 369.854 ha yang terdiri dari 190 314 ha daratan di Pulau Sumatera, 69.280 ha daratan Pulau Samosir dan 110.260 ha luas permukaan danau. Kedua, kawasan Danau Toba merupakan hulu dari beberapa wilayah kabupaten/kota di Sumatera Utara. Kondisi ekosistem kawasan ini berpengaruh langsung dan tidak langsung bagi daerah hilirnya. Ketiga, tidak ada tujuan wisata di Sumut yang mampu menggantikan keindahan danau ini. Keempat, ekosistem kawasan danau memiliki nilai ekologi, sosial budaya dan ekonomi bagi kehidupan manusia.
Sebagai warga Sumut, kita patut menaruh harapan pada rencana kegiatan pra PDT dan pada saat 5 hari pelaksanaan PDT sendiri. Dari pemberitaan media diperoleh informasi beberapa kegiatan pra PDT: pembersihan danau (lomba desa green and clean), pembenahan infrastruktur (jalan dan feri penghubung), raker danau, pameran foto, reli wisata, penanaman pohon. Pada hari-hari H, dilaksanakan beberapa event: workshop pengelolaan danau, olah raga, parade kapal hias, jetski dan festival gondang. Dari berbagai kegiatan ini, memang diprediksi tetap cukup meriah dan bernuansa ‘pesta’.
Danau Toba telah memiliki perjalanan panjang sebagai daerah tujuan wisata (DTW). Beberapa tahun silam, danau Toba merupakan DTW kedua setelah Bali. Sejak legenda terbentuknya danau ini sampai kini menjadi DTW yang sangat memprihatinkan, berbagai intervensi telah dilakukan oleh manusia pada danau terbesar di Asia Tenggara ini.
Berbagai aktivitas yang tidak taat lingkungan menyebabkan danau kita tengah merana. Indikasi kasat mata langsung bisa disebut satu per satu. Tata ruang yang tidak konsisten, keramba jaring apung (KJA), berjuta eceng gondok, ekses negatif kegiatan wisata, bangunan di sempadan dan bahkan menjorok ke danau, penggundulan hutan, debit air sungai berkurang bahkan kering, zat limbah dalam badan air, hilangnya spesies endemik, penurunan muka danau, praktek pertanian yang tidak selaras alam, dan banyak lagi.
Berbagai indikasi itu secara langsung mematisurikan geliat wisata. Sekedar contoh dapat disebutkan. KJA di perairan danau di Haranggaol, benar-benar telah melumpuhkan sektor wisata di sekitarnya. Kekokohan eceng gondok di perairan Tongging, misalnya, telah menutupi pantai sekitarnya. Berdasarkan data yang ada, luas permukaan air yang tertutup eceng gondok mencapai sekitar 380 hektar. Tight blue tent di ujung Ajibata, sungguh sangat membuat miris. Muda-mudi dengan berbonceng sepeda motor kerap mengunjunginya. Adakah decision maker sektor wisata tidak tahu hal ini?
Puluhan bahkan ratusan program pelestarian telah pula didaratkan di danau dan kawasan sekitarnya. Program mana untuk mengatasi kemeranaan danau. Program yang diprakarsai pemerintah pusat, pemda, LSM, perguruan tinggi, dan stakeholder lainnya. Bahkan oleh UNESCO telah berkiprah sejak tahun 1995. Bukan untuk menyalahkan siapapun, namun program-program itu kelihatannya masih manyisakan banyak masalah. Perlu di-review dan direformulasi. Kegiatan workshop dan raker danau yang hendak digelar, dalam hal ini, menjadi sangat strategis sebabai momentum awal untuk merancang masa depan danau secara komprehensif.
Sebagai suatu wilayah yang memiliki kesamaan karakterisitik, ketujuh kabupaten yang memiliki Danau Toba (Simalungun, Taput, Humbahas, Tobasa, Samosir, Karo, dan Dairi) hendaknya melakukan kerjasama antardaerah dalam pengelolaan danau. Sebab danau dan kawasannya tidak baik dikavling dalam pengelolaannya. Menurut ilmu wilayah, Danau Toba dan kawasan tangkapan airnya merupakan wilayah yang harus direncanakan secara khusus.
Pada Konferensi Nasional Danau Indonesia (KNDI) di Bali tahun 2009, dimana mengemuka tujuh kesepakatan pengelolaan danau berkelanjutan, kiranya dapat menjadi agenda dalam raker dan workshop yang akan digelar itu. Ketujuh kesepakatan meliputi pengelolaan ekosistem danau; pemanfaatan sumber air danau; pengembangan sistem monitoring, evaluasi dan informasi danau; penyiapan langkah adaptasi dan mitigasi; peningkatan partisipasi masyarakat; dan pendanaan berkelanjutan.
Kesepakatan tersebut secara implisit menyatakan bahwa penggunaan danau diprioritaskan untuk tujuan wisata (pelestarian lingkungan danau). Sementara kegiatan ekonomi (seperti KJA, industri, peternakan) sedapat mungkin dihindari. Para ahli lingkungan sangat mengerti apa dampak buruk KJA bagi keberlanjutan danau. Syarat mutlak untuk implementasi kesepakatan itu adalah kerjasama antardaerah dan kerjasama antarinstansi pemerintah.
Kita menyambut baik berbagai rencana kegiatan pra dan pada PDT itu. Lomba desa hijau dan bersih itu memang harus dibuat berkelanjutan, dengan insentif yang memadai. Insentif yang diberikan bisa berbentuk, misalnya, prioritas peningkatan infrastuktur jalan dan/atau fasilitas umum/sosial ke desa yang bersangkutan. Atau program pemerintah untuk mengembangkan potensi lokalita desa. Ini hanya sekedar alternatif, bisa dalam bentuk insentif lain.
Bisa juga dilaksanakan perlombaan penanaman pohon di kawasan danau dalam cakupan yang lebih luas. Penanaman pohon seperti ini dapat difasilitasi oleh pemerintah kabupaten/ kecamatan/desa dengan mengundang partisipasi masyarakat. Kriteria keberhasilan dilakukan secara multitahun. Artinya, pohon yang ditanam pada tahun ini, dinilai keberhasilannya pada tahun mendatang dan tahun-tahun selanjutnya.
Hal yang tidak kalah penting adalah penataan ruang perairan danau dan kawasan tangkapan airnya. Berdasarkan data yang ada, sekitar 43% daratan tangkapan air Danau Toba penggunanannya tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Meskipun di awal dikatakan sedapat mungkin menghindari usaha KJA dan kegiatan nonwisata lainnya, jika memang memungkinkan harus ditata ruang untuk itu. Apakah site darmaga Tigaras, misalnya, bisa diberikan ijin usaha KJA?
Yang sering terlupakan, pengembangan infrastruktur sosial budaya malah lebih menentukan keberhasilan pelestarian danau. Sikap, perilaku, motivasi, keterampilan, pendidikan, dan nilai-nilai moral penduduk dan pendatang menjadi penting. Perilaku hidup bersih dengan, misalnya, tidak membuang sampah sembarangan, tampaknya sangat perlu ditingkatkan. Perilaku berwisata yang bersih dan sehat menjadi kawalan pihak terkait disamping dituntut kesadaran para wisatawan.
Sebagai contoh saja, saat berkunjung pada awal tahun 2010 ke Parapat, penulis sempat ‘berperan kecil’ membersihkan sampah di sekitar pantai Danau Toba. Bagaimana mungkin wisatawan berniat mandi atau sekedar menikmati pantai bila perairan danau dipenuhi sampah yang mengambang. Celakanya, saat itu, sisa ‘bagian dalam’ ternak yang dipotong ditemukan mengambang di antara sampah. Untung saja, dalam kondisi ramai seperti itu, penulis masih sempat menyingkirkan ‘daging busuk’ itu ke tempat sampah sebelum khalayak melihatnya. Ah, betapa kita tanpa sadar tengah mengotori rumah kita sendiri.
Apa yang bakal terjadi? Tak seorangpun di antara kita yang menginginkan bencana, bahkan membayangkannya pun tidak. Tapi jika fakta-fakta kritis yang telah disebutkan semakin parah, bencana besar bakal terjadi. Hanya soal waktu saja. Hal yang pasti, muka danau terus menurun. Berbagai media dapat disimak tentang ini. Tahun 1984, muka danau masih 905,25 m di atas permukaan laut (dpl), menjadi 904,75 m dpl di akhir tahun 1985. Merujuk situs Otorita Asahan, tinggi permukaan Danau Toba pada bulan Agustus 2010 adalah 903,99 dpl.
Fakta lain, hutan di kawasan danau semakin gundul. Jika kondisi tetap terjadi, bukan hanya dataran tinggi Toba saja yang terkena dampak. Bukan mustahil banjir bandang bakal melanda wilayah-wilayah dataran rendah sekitar kawasan danau.
Semua pihak pasti sepakat, kualitas dan daya dukung ekosistem kawasan Danau Toba telah dan sedang mengalami penurunan. Jika terus mengalami pembiaran, alam akan murka dan manusia adalah korban pertamanya. Namun harapan dan komitmen tetap ada. Momentum PDT 2010 sangat strategis merajut harapan dan menegaskan komitmen itu. Kita menaruh harapan besar akan momentum ini dan tindak lanjutnya. Jika tidak, sesungguhnyalah kita akan berpesta di danau yang sedang merana. Kita akan menggelar hiruk-pikuk keramaian di danau yang merasa sangat kesepian. Selamat menjelang PDT 2010!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar